
Oleh: Khori Arianti, S.Si
(POPT Ahli di Balai Karantina Pertanian Kelas II Ternate)
(Malut Post, 12 Oktober 2017)
Kopra, masih menjadi salah satu komoditas pertanian unggulan Maluku Utara. Jelas, karena tanaman kelapa juga masih menjadi tanaman perkebunan utama. Berdasarkan data Balai Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara, luas pertanaman kelapa di Maluku Utara pada tahun 2015 mencapai 147.733 hektar dengan jumlah produksi sebesar 231.619 ton. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan tanaman perkebunan lainnya seperti pala, cengkeh, dan kakao.
Wajar, jika kopra juga menjadi komoditas ekspor unggulan Maluku Utara. Ekspor kopra ke Philipina bahkan telah mampu dilakukan langsung dari Pelabuhan Laut Tobelo di Halmahera Utara. Sementara komoditas lainnya seperti pala, cengkeh,dan kakao harus dikirim ke Surabaya atau Manado terlebih dahulu baru dapat dilakukan ekspor dari sana.
Berdasarkan data Balai Karantina Pertanian Kelas II Ternate, pada tahun 2014 Maluku Utara telah berhasil melakukan sembilan kali ekspor kopra ke Philipina dengan jumlah total 17.322.200 kg. Sementara itu, pada tahun 2015 terjadi penurunan frekuensi ekspor kopra menjadi tujuh kali dengan jumlah total 18.213.097 kg. Sayangnya, pada tahun 2016 terjadi penurunan yang sangat drastis sehingga Maluku Utara hanya mampu melakukan satu kali ekspor dengan volume 850.400 kg. Bahkan hingga akhir September 2017 ini, belum ada lagi ekspor kopra dari Maluku Utara. Ada apa?
Investor, rupanya menjadi titik kritis dalam permasalahan ini. Perusahaan eksportir kopra yang biasanya beroperasi selama ini memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya. Sementara itu, pemerintah daerah juga belum berhasil menggandeng investor lain untuk melakukan bisnis ekspor kopra. Alasannya, masalah kualitas.
Kualitas kopra Maluku Utara dinilai belum memenuhi persyaratan pasar kopra dunia. Usia buah kelapa yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kopra dinilai masih terlalu muda sehingga menghasilkan kopra yang lunak dan mudah terjadi kerusakan selama pengolahan akibat aktivitas mikrobia, terutama jamur. Minyak yang dihasilkan pun terbatas, padahal kopra Maluku Utara dikenal memiliki kandungan minyak yang bagus jika pengolahan dan usia kelapa yang digunakan tepat. Selain itu, cara petani dalam memproduksi kopra juga membuat kualitas produknya turun. Sebagian petani masih menggunakan cara pengasapan untuk mengeringkan daging kelapa sehingga kopra yang dihasilkan berwarna cokelat kehitaman.
Inilah beberapa hal yang menyebabkan macetnya ekspor kopra dari Maluku Utara. Tak perlu mencari kambing hitam dalam masalah ini. Seluruh pihak yang terkait harus merasa bertanggung jawab dan sebaiknya segera duduk bersama untuk mengurai kemacetan ekspor ini.
Permasalahan utama yang harus dibenahi yaitu kualitas. Petani perlu diberikan pendampingan dalam pengelolaan usaha kopranya. Sebenarnya, Dinas Pertanian Maluku Utara telah menghimbau kepada para petani untuk mengeringkan daging kelapa dengan cara penjemuran hingga dihasilkan kopra yang berwarna putih bersih. Ini tentu akan lebih menarik bagi pasar internasional. Selain itu, usia buah kelapa yang dijadikan kopra pun perlu diperhatikan tingkat kematangannya agar kualitas kopra memenuhi kebutuhan industri berbahan baku kopra. Himbauan Dinas Pertanian ini hendaknya ditindaklanjuti dengan pendampingan intensif melalui sumber daya yang mampu menjangkau langsung hingga akar rumput, petani kelapa.
Selain kualitas, situasi perdagangan dunia tentu akan mempengaruhi peluang ekspor kopra Maluku Utara. Implementasi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) telah menyebabkan arus barang, jasa, investasi, dan SDM semakin terbuka. Regulasi perdagangan bebas WTO juga menghendaki setiap negara untuk meminimalisir hambatan perdagangan (borderless) kecuali ada alasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. SPS (Sanitary and Phytosanitary), akhirnya menjadi instrumen setiap negara dalam mencari justifikasi ilmiah untuk melindungi produk dalam negeri dari arus impor. SPS-WTO merupakan peraturan bagi negara-negara anggota WTO dalam melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan dari penyebaran penyakit yang dapat terbawa melalui perdagangan komoditas pertanian.
Takut? Tidak ada gunanya karena ini tantangan yang memang harus dihadapi kopra Maluku Utara untuk menembus pasar dunia. Peningkatan kualitas dan bebasnya komoditas dari hama penyakit atau organisme pengganggu tumbuhan menjadi senjata yang kuat untuk menjawab tantangan tersebut.
Karantina, harus turut ambil bagian dalam hal ini. Karantina menyediakan layanan sertifikasi komoditas yang akan diekspor. Sertifikat kesehatan dari karantina inilah yang diakui dunia dan digunakan sebagai kartu pas masuknya komoditas pertanian ke negara pengimpor. Sertifikat kesehatan ini memberikan jaminan kesehatan atas produk yang diekspor.
Tentu, untuk mendapatkan sertifikat kesehatan dan mampu menembus pasar dunia, kopra yang diekspor harus memenuhi persyaratan negara tujuan. Negara pengimpor biasanya mensyaratkan kopra harus bebas dari serangga hidup. Oleh karena itu, jika berdasarkan pemeriksaan petugas karantina ditemukan serangga hidup, sebelum diekspor kopra diberi perlakukan fumigasi. Tujuannya, agar tidak ada penolakan dari negara pengimpor saat kopra tersebut sudah sampai di negara tujuan. Penolakan tentu akan memberikan beban produksi bagi eksportir, mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar, dan pasti akan berimbas pada petani kopra.
Mengurai kemacetan ekspor kopra Maluku Utara memang tidak bisa dilakukan sepihak. Mata rantai produksi kopra dari hulu sampai hilir harus mulai dibenahi. Petani, pelaku usaha, unsur pemerintah termasuk Dinas Pertanian dan karantina harus punya komitmen bersama untuk menyelesaikan masalah ini. Semua menunggu kebangkitan ekspor kopra Maluku Utara, segera. Semoga.