
Kopra merupakan salah satu komoditas utama Maluku Utara. Kopra bahkan pernah tercatat sebagai komoditas ekspor unggulan.
Berdasarkan data operasional Balai Karantina Pertanian Kelas II Ternate, pada tahun 2014 Maluku Utara telah berhasil melakukan sembilan kali ekspor kopra langsung ke Philipina dengan jumlah total 17.322.200 kg. Ekspor dilakukan melalui Pelabuhan Laut Tobelo. Sementara itu, pada tahun 2015 terjadi penurunan frekuensi ekspor kopra menjadi tujuh kali dengan jumlah total 18.213.097 kg. Pada tahun 2016 terjadi penurunan yang sangat drastis sehingga Maluku Utara hanya mampu melakukan satu kali ekspor dengan volume 850.400 kg. Sejak itu, ekspor kopra Maluku Utara macet.
Meski demikian, kopra Maluku Utara sesungguhnya tetap menjadi komoditas ekspor, hanya saja tidak dilakukan langsung dari Maluku Utara. Kopra dikirim dulu ke Surabaya dan Bitung, baru kemudian dari sana dilakukan ekspor.
Berdasarkan data IQFast (Indonesia Quarantine Full Automation System) Balai Karantina Pertanian Kelas II Ternate, kopra tetap menjadi komoditas terbesar yang dilalulintaskan keluar. Pada tahun 2019, tercatat kopra Maluku Utara yang dilalulintaskan keluar sebesar 54.470.489 kg. Jika dihitung harga kopra Rp. 4.000,- di tingkat petani, maka potensi ekonomi dari kopra Maluku Utara pada tahun 2019 mencapai 217 milyar rupiah. Diperkirakan pada tahun 2020 ini akan terjadi peningkatan, mengingat data lalu lintas kopra dari Januari hingga Juni 2020 telah mencapai 34.858.897 kg, meningkat 20% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Potensi ini tentu akan meningkat lagi jika kopra bisa diekspor langsung dari Maluku Utara. Balai Karantina Pertanian Kelas II Ternate siap mendukung akselerasi ekspor kopra Maluku Utara melalui pemenuhan ketentuan fitosanitari (SPS) sesuai persyaratan negara tujuan. Hal ini sejalan dengan arahan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, terkait program Gerakan Tiga Kali Ekspor (Gratieks) dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani.
Hanya saja permasalahan ekspor ini memang tidak sederhana. Pasar ekspor sangat memperhatikan kualitas dan penampilan atau kemasan. Petani kopra kita banyak yang melakukan pengeringan dengan cara diasap. Hal ini menyebabkan kopra yang dihasilkan berwarna cokelat kehitaman. Selain itu, usia buah kelapa yang menjadi bahan baku kopra juga perlu diperhatikan. Jika terlalu muda, maka akan dihasilkan kopra yang lunak dan mudah terjadi kerusakan selama pengolahan akibat aktivitas mikrobia, terutama cendawan.
Selain itu, permasalahan seputar investor dan biaya angkutan juga menjadi kendala ekspor langsung. Namun, jika semua harus bergerak sinergis, pasti bisa.